BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemanasan global adalah
naiknya suhu permukaan bumi sebagai akibat naiknya intensitas Efek Rumah
Kaca(ERK). Akibat adanya ERK tersebut,
suhu di permukaan bumi naik.
Pengaruhnya, suhu bumi menjadi nyaman bagi kehidupan manusia. Maka, seandainya tidak ada ERK, suhu rata –
rata bumi akan – 18⁰C. Suhu itu terlalu
dingin bagi kehidupan manusia. Dengan
adanya ERK, suhu rata – rata bumi menjadi 34⁰C lebih tinggi, yaitu menjadi
15⁰C. Jadi, ERK membuat suhu bumi sesuai
dengan kehidupan manusia.
Namun, dengan
adanya revolusi industry di negara –
negara maju pada pertengahan tahun 1880-an, telah meningkatkan penggunaan
sumber energy berasal dari bahan bakar fosil (BBF), seperti batu bara, minyak
bumi, dan gas alam, sehingga menghasilkan berbagai emisi ke udara. Maka terjadi peningkatan emisi GRK dari
karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O)
yang tajam. Akibatnya, atmosfer bumi
diselimuti gas rumah kaca tersebut, terjadilah efek rumah kaca. Yaitu sebagian inframerah terserap oleh
atmosfer, menyebabkan sinar infra merah tersebut tidak terlepas ke angkasa
luar. Panas tersebut terperangkap di
dalam lapisan troposfer dan suhu permukaan bumi naik.
Dalam kurun waktu 100
tahun belakangan, kini akibat ERK telah terjadi kenaikan suhu bumi rata-rata
0,50⁰ C lebih panas dari zaman pra-industri.
Dalam jangka panjang suhu bumi itu akan cenderung semakin panas dari
suhu yang seharusnya kita rasakan, jika kita tidak berusaha menurunkan dan
menstabilkan konsentrasi GRK. Sehingga
menurut ramalan para ahli, pada tahun 2030 suhu bumi naik dengan 3⁰C. Kenaikan suhu itu nampaknya tidak banyak,
tetapi kenaikan suhu tersebut apabila dilihat dari sejarah bumi, kenaikan suhu
dalam pemanasan global sangatlah cepat.
Karena perubahan suhu dalam zaman daur es dan zaman anta res terjadi
dalam ribuan tahun. Kini, kenaikan suhu
itu dalam kurun waktu ratusan tahun menjadi dua kali kadar dalam masa
pra-industri dengan ribuan tahun.
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka untuk mencegah dan mengendalikan dampak pemanasan
global, penulis menyusun makalah ini sebagai bahan acuan dalam menyelesaikan
isu global yang terjadi ini.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang muncul berkaitan dengan
fenomena pemanasan global dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1
Apakah yang dimaksud dengan pemanasan global?
1.2.2
Mengapa dapat
terjadi pemanasan global?
1.2.3
Apa saja gejala – gejala adanya pemanasan
global?
1.2.4
Bagaimana cara mengukur pemanasan global?
1.2.5
Apa saja dampak yang ditimbulkan akibat
pemanasan global?
1.2.6
Bagaimana cara pengendalian pemanasan global?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.3.1
Ingin mengetahui pengertian dan penyebab
terjadinya pemanasan global.
1.3.2
Ingin mengetahui gejala – gejala terjadinya
pemanasan global.
1.3.3
Ingin mengetahui cara mengukur pemanasan global.
1.3.4
Ingin mengetahui dampak – dampak akibat
pemanasan global.
1.3.5
Ingin mengetahui cara – cara pengendalian
pemanasan global.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat, di antaranya :
1.4.1
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
fenomena pemanasan global.
1.4.2
Dapat mencegah terjadinya pemanasan global
dengan melakukan cara – cara pengendaliannya.
1.4.3
Dapat mengukur pemanasan global yang terjadi di
muka bumi.
1.5 Metode Penelitian
Metode
penelitian kami yaitu melakukan peninjauan pustaka dari literature – literature
yang ada, seperti internet dan buku.
1.6 Sistematika Penulisan
1.6.1
BAB I PENDAHULUAN
·
Latar Belakang Masalah
·
Rumusan Masalah
·
Tujuan Penulisan
·
Manfaat Penulisan
·
Metode Penelitian
·
Sistematika Penulisan
1.6.2
BAB II PEMBAHASAN
·
Pengertian Pemanasan Global
·
Penyebab Pemanasan Global
·
Gejala Pemanasan Global
·
Mengukur Pemanasan Global
·
Dampak Pemanasan Global
·
Perdebatan tentang Pemanasan Global
·
Pengendalian Pemanasan Global
1.6.3
BAB III PENUTUP
·
Kesimpulan
·
Saran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global adalah
adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Pemanasan global
(global warming) pada dasarnya
merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena
terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2),
metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap
dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global
– termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad
21.
2.2
Penyebab Pemanasan Global
2.2.1
Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari
Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak.
Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas
yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra
merah gelombang panjang ke
angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat
menumpuknya jumlah gas rumah kaca
antara lain uap air, karbon
dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini
menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan
akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi
terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah
kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di
atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk
hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin.
Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih
panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca
suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan
tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
2.2.2
Efek Umpan Balik
Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai
proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah
kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih
banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah
kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara
sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca
yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2
sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara,
kelembaban relatif
udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).
Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan
memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada
di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan
melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan
maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila
dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es
yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4
dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya
yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan
melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang
bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada
zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
2.2.3
Variasi matahari
Variasi
Matahari selama 30 tahun terakhir
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari
Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat
memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini
dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari
akan memanaskan stratosfer
sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer
bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan
terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini.
(Penipisan lapisan ozon juga
dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi
mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan
aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa
pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari
Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah
berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama
periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan
rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat
estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan
pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu
vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian,
mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim
terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi
pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika
Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan
tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini.
Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil
untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood
dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan
variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari
maupun variasi dalam sinar kosmis.
2.2.4
Peternakan ( Konsumsi Daging )
Menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa,
"industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar
(18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh
transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari
emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi
gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!
Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida,
37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2
dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen
dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari
CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena
campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.
Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan
tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan
tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk
menanam makanan ternak.
Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari
Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu
dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and
Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan ....
kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi
ladang ternak.
Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah.
Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak
yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas
konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan
galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar
85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak
juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.
2.3
Gejala Pemanasan Global
Kebakaran hutan besar-besaran
Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat
juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini, kebakaran hutan
meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan
mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan
salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal sehingga salju
meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah
terbakar.
Situs purbakala cepat rusak
Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs
bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa
waktu silam. banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua.
Situs bersejarah berusia 600 tahun di Thailand, Sukhotai, sudah rusak akibat
banjir besar belum lama ini.
Ketinggian gunung berkurang
Tanpa disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami
penyusutan ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya es di puncaknya. Selama
ratusan tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat
tekanannya. Saat lapisan es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan perlahan
terangkat kembali.
Satelit bergerak lebih cepat
Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas,
bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluat atmosfer sangat
tipis, tapi dengan jumah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di
atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi, dan
mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka
atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan, dan satelit bergerak lebih cepat.
Hanya yang Terkuat yang Bertahan
Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya mahluk hidup
yang kuatlah yang bisa bertahan hidup. Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat
tahun ini, maka migrasi sejumlah hewan lebih cepat terjadi. Mereka yang
bergerak lambat akan kehilangan makanan, sementar mereka yang lebih tangkas,
bisa bertahan hidup. Hal serupa berlaku bagi semua mahluk hidup termasuk
manusia.
Pelelehan Besar-besaran
Bukan hanya temperatur planet yang memicu pelelehan
gununges, tapi juga semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Pelelehan ini
memicu dasar tanah mengkerut tak menentu sehingga menimbulkan lubang-lubang dan
merusak struktur seperti jalur kereta api, jalan raya, dan rumah-rumah. Imbas
dari ketidakstabilan ini pada dataran tinggi seperti pegunungan bahkan bisa
menyebabkan keruntuhan batuan.
Keganjilan di Daerah Kutub
Hilangnya 125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam
memunculkan ide bahwa pemanasan global terjadi lebih “heboh” di daerah kutub.
Riset di sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan
mencairnya bagian beku dasar bumi.
Mekarnya Tumbuhan di Kutub Utara
Saat pelelehan Kutub Utara memicu problem pada tanaman danhewan
di dataran yang lebih rendah, tercipta pula situasi yang sama dengan
saatmatahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman di situ yang dulu
terperangkap dalam es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan
terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar
dibanding dengan tanah di era purba.
Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih
Tinggi
Sejak awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi
demi menemukan tupai, berang-berang atau tikus hutan. Ilmuwan menemukan bahwa
hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan global.
Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga, sebab es tempat
dimana mereka tinggal juga mencair.
Peningkatan Kasus Alergi
Sering mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di
matasaat musim semi, maka salahkanlah pemanasan global. Beberapa dekade
terakhir kasus alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan.
Pola hidupdan polusi dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan bahwa
tingginya level karbondioksida dan temperatur belakangan inilah pemicunya.
Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan memproduksi lebih
banyak serbuk sari.
2.4
Mengukur Pemanasan Global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2
di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan
bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur
rata-rata global. Hipotesis ini
dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program
penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel
atmosfer dari puncak gunung Mauna
Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer
terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang
terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan
bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan
dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim
untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend)
yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat
dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan
sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan
oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan
dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya
(terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat,
terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang
lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi
benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh
tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan
tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling
panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental
Panel on Climate Change
(IPCC) menyimpulkan bahwa
temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer.
IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1
hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi
gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus
menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun
atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. [22]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli
memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga
kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri.
Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya
peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah
Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat
besar.
2.5
Dampak Pemanasan Global
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola
presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global.
Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan
mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian,
kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
2.5.1
Iklim Mulai Tidak Stabil
Akibat
iklim yang tidak stabil, terjadi kekeringan di muka bumi
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global,
daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan
memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan
mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di
perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan,
mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis,
bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair.
Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim
dingin dan malam hari akan
cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak
air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan
yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap
air merupakan gas
rumah kaca, sehingga keberadaannya
akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga
akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses
pemanasan (lihat siklus air).
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar
1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh
dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat
menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari
penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang
terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca
menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
2.5.2
Peningkatan Permukaan Laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut
diukur dari
daerah dengan lingkungan yang stabil
secara geologi
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga
akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama
sekitar Greenland, yang
lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC
memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi
kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6
persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika
tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk
melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat
melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika
Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
2.5.3
Suhu Global Cenderung Meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan
menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya
tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari
lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan
mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat
mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
2.5.4
Gangguan Ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit
menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai
manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub
atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari
daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan
manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke
utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat
berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
2.5.5
Implikasi Terhadap Kesehatan
Perubahan iklim akibat pemanasan global dapat menyebabkan
gangguan terhadap kesehatan manusia.
Misalnya, dapat meluasnya penyebaran penyakit malaria, demam berdarah,
diare, kolera, encephalitis, dan penyakit akibat vector lainnya. Mengingat musim hujan yang tidak normal
dengan berkepanjangan dapat memperluas areal area genangan air dan menjadi
tempat ideal bagi perkembangan nyamuk – nyamuk penyebab penyakit – penyakit
terkait banjir. Sebaliknya, musim
kemarau panjang dan kekeringan dapat menyebabkan menipisnya persediaan air
bersih dan memudahkan penularan diare, kolera, dan penyakit – penyakit saluran
cerna lainnya.
Berbagai penyakit itu tidak hanya dapat terjadi di Negara –
Negara berkembang, tetapi penyakit – penyakit tersebut juga dapat terjadi di
negara – negara yang telah maju. namun,
ironisnya negara berkembang yang lebih
sedikit kontribusinya dalam pemanasan global justru paling rentan terjangkit
penyakit.
2.5.6
Dampak Sosial dan Politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan
gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air
laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian
akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan
penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis,
penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya
perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes
Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat
tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi
kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun
punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan
berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan
kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD
Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah
pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne
disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang
tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit
saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
2.6
Perdebatan Tentang Pemanasan Global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari
pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur
benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi
tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang
keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti
yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen
bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan
fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa
daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung
menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model
pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama,
pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20;
bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua,
jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi
oleh model. Ketiga, troposfer,
lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi,
pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan
tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh
besarnya polusi udara yang
menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa
luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena
adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak
seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan.
Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data
untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air
yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil
pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur
laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat
Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit
perubahan tetapi cukup berarti.[29]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi
lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut
beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran
atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000,
sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk
membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat
diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari
prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
2.7
Pengendalian Pemanasan Global
Konsumsi total bahan
bakar fosil di dunia meningkat sebesar
1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan.
Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara.
Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah
masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai
untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika
Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor
(jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke
utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor
ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin
bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke
atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain.
Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
2.7.1
Menghilangkan Karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida
di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area,
tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya
ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau
pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan
penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas
rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung.
Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak
untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced
Oil Recovery). Injeksi juga bisa
dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak,
lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran
lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas
alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer
sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah
pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat
pesat sejak revolusi industri
pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan
oleh minyak bumi pada
pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di
dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang
dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi
terbaharui dan energi
nuklir lebih mengurangi pelepasan
karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida
sama sekali.
2.7.2
Efisiensi Penggunaan Energi
Untuk mengurangi efek rumah kaca perlunya pula efisiensi
dalam penggunaan energy BBF. Misalnya
untuk efisiensi penggunaan energy dan penggunaan emisi CO2, antara lain
perlunya pengembangan transport umum yang menarik bagi masyarakat, seperti bis
yang bersih, aman, nyaman, dan tepat waktu dengan terminal khusus yang
mempunyai tempat parker yang luas dan tidak menganggu keramaian lalu lintas.
Selain itu, transportasi umum lainnya yang perludigalakkan
pula adalah kereta api yang bersih, aman, nyaman, dan tepat waktu. Karena kereta api dapat membawa penumpang
lebih banyak dan mempunyai daya tarik bagi masyarakat dan para wisata. Di samping itu, kereta api dapat mengurangi
kemacetan, penghematan bahan bakar, mengurangi buangan emisi ke udara dan
mengurangi gangguan kesehatan akibat pencemaran udara.
2.7.3
Persetujuan Internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan
pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio
de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah
kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang
mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang
dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan
kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam
melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen
di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat
tahun 2012. Pada mulanya, Amerika
Serikat mengajukan diri untuk
melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga
7 persen di bawah tingkat 1990; Uni
Eropa, yang menginginkan
perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa
122 negara lainnya, sebagian besar negara
berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen
dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika
Serikat yang baru terpilih, George
W. Bush mengumumkan bahwa
perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat
besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang
tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto
Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung
jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak
meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin
meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai
16
Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan
jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi
bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang
keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang
dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah
kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.
Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika
Serikat terutama dikemukakan oleh
industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya
tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya
ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300
milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung
Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar
dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk
penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri
yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat,
ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi.
Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai
contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan,
telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi
targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol
Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada
setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator
merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang
sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak
digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon.
Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda,
dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang
lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem
ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah
kacanya sangat tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Pemanasan global (global warming) pada dasarnya
merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya
efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2),
metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap
dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global
– termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad
21.
3.1.2 Gejala – gejala terjadinya pemanasan global adalah:
Kebakaran hutan besar-besaran
Situs purbakala cepat rusak
Ketinggian gunung berkurang
Satelit bergerak lebih cepat
Hanya yang Terkuat yang Bertahan
Pelelehan Besar-besaran
Keganjilan di Daerah Kutub
Mekarnya Tumbuhan di Kutub Utara
Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih
Tinggi
Peningkatan Kasus Alergi
3.1.3 Dampak yang ditimbukan oleh
pemanasan global adalah:
ü Iklim Mulai Tidak Stabil
ü Peningkatan Permukaan Laut
ü Suhu Global Cenderung Meningkat
ü Gangguan Ekologis
ü Implikasi Terhadap Kesehatan
ü Dampak Sosial dan Politik
3.1.4 Cara pengendalian pemanasan global adalah:
Ø Persetujuan
Internasional
Ø Efisiensi Penggunaan Energi
Ø Menghilangkan Karbon
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan
dari hasil temuan di atas, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut :
·
Kita sebaiknya memahami gejala – gejala
terjadinya pemanasan global dan berusaha mengurangi penyebab pemanasan global
tersebut.
·
Setelah mengetahui dampak – dampak yang timbul
akibat terjadinya pemanasan global, sebaiknya kita dapat mencegah dan
mengendalikan terjadinya pemanasn global di muka bumi ini.
Comments
Post a Comment