Pendahuluan
Sangat luar biasa perhelatan politik di
Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya
republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah
mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima
tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan
minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas
sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya
dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the
founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua
yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32
tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan
tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden.
Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi
persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa
yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini
terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang
tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia
identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan
kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan
bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan
bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka
kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat
mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.
Substansi persoalan yang dihadapi oleh
bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang
santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan
dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan
watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen
masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang
baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan
demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi
hukum dan menjalankan good governance dan clean government.
Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi
piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde
baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie,
dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk
mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam
beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias
Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu
membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang secara edukatif
berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun demikian,
perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah
masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan
kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang
relatif demokratis.
Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah
negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang
democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40
milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu
sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang
melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang
presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu,
kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan
Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis
oleh dua orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu
melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh
rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik
susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan
sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja
karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan
yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai
nilai demokrasi yang tengah disemaikan.
Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita
ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)
akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan
program 100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk
melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari
pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang
melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang
melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.
A. PENCALONAN GUS DUR SEBAGAI ANTISIPASI KRISIS KEHIDUPAN BANGSA
Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah
komando Habibie nampaknya benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu
pilar demokrasi yang sangat fundamental yakni kebebasan berpendapat dan
berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan
rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam
waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris”
rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie patut dijadikan acuan bagi
pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi politik dan
ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang
dan mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.
Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan
berserikat, dengan serta merta telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi
strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu,
kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat
konstruktif untuk perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog
interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan
mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat
Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk mengawal
proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka
Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.
Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI
keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di
balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus
Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada
Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan
Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tidak serius
untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian
ketika pamor mereka mulai redup.
Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan
ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap
dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya
ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan
pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur
menerimanya secara terbuka.
Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur
untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka
mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan
ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu
pendukung calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan
datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi
tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih
menjadi Presiden.
Fanatisme terhadap kandidat Presiden
Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat Presiden Habibie
dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda
Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan
sebagainya siap mati demi mempertahankan Habibie.
Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak
mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang terpilih akan memancing
reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa
tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi
dan idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap
mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas,
menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.
Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang
membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap
arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat
selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan membahas tata tertib
dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing kelompok, semntara
pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa
justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.
Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa
terpanggil untuk menyelesaikan dan menjawab masalah secara langsung. Dalam
rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan
menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan
yang makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat
mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin
bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.
Dari argumentasi di atas dapat dipahami
bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya
bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di
balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan
upaya melawan kepentingan dan kekuatan lain yang mencoba bermain dalam kancah
perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk
membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan bersama bangsa
Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.
Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh
semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden
ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai benturan
kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan
adanya kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis
merebut kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya
dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk
tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi
pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan
bangsa yang ada.
B. HARAPAN VERSUS TINDAKAN PEMERINTAHAN GUS DUR
Berbagai harapan terhadap duet antara Gus
Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan
dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan
menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan
pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari
terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan
mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung
dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk
memikul bersama demi kepentingan bangsa.
Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadari
dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi
demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat
mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain,
sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada
pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun
garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam
menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus
melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang
menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan
utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan
simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus
Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.
Alih-alih demi kepentingan reformasi,
kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu
dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga.
Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh
pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi
bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk
mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari
semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan
berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus
nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi
problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata,
untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.
Perencanaan program pemerintahan semacam
ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis,
teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya
berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang
semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi
aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat
memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program
pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa
yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan
pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.
Pada perjalanan berikutnya, gaya politik
Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik
konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan
manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional.
Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan
alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam
pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya
keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi,
ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri
Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam
spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah
gencarnya manuver politik dari pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya
meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin
renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.
Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap
pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI
maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur
melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah
faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver
politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang
kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan tidak
efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati
akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap
sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur,
kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas
dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak
dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan
roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi
lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di
daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.
Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus
Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden
adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian
menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap
seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan
formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga
tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai
pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini, kemudian
disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan kepemerintahan
Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan
dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan
statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.
Di sini terlihat bahwa harapan terhadap
pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa
dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga
politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam
tindakan kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang
paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para
pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari
bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan pemerintahan Gus
Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini.
Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai
kepentingan individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur
memimpin. Secara faktual banyak orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan
Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Di samping itu, wacana yang ingin dibangun
pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu
memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN
yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan
menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal
lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di
sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang
dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan
Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan
Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran
dan ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari
kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata
sangat bertolak belakang.
C.
PERISTIWA – PERISTIWA PENTING PADA
PEMERINTAHAN GUS DUR
2000
·
Skandal Buloggate dan Bruneigate menerpa
pemerintahan Gus Dur
·
Kasus pemeriksaan dugaan korupsi mantan presiden
Soeharto kandas
·
Papua Barat (yang dulu disebut dengan Irian
Jaya) menuntut referendum seperti Timor Timur
April
·
17-21 April - Kerusuhan Poso babak yang kedua terjadi
Mei
·
16 Mei -15 Juni - Kerusuhan Poso masih terus berlanjut
Juli
·
19-23 Juli - Indonesia Terbuka
2000 diselenggarakan di Gelora Senayan, Jakarta. Indonesia
memperoleh medali emas di tunggal dan ganda putra.
Agustus
·
1 Agustus - sebuah bom meledak di Kedubes
Filipina di Jakarta. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah
Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya
luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
·
27 Agustus - sebuah bom lainnya meledak di
Kedubes Malaysia di Jakarta. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia
di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
September
·
13 September - bom kembali mengguncang Jakarta.
Kali ini lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta diledakkan oleh sebuah bom
mobil yang mengakibatkan 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil
rusak berat, 57 rusak ringan. (Lihat pula: Bom Bursa Efek
Jakarta)
Desember
·
24 Desember - serangkaian ledakan bom pada malam
Natal di beberapa kota di Indonesia merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96
lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak. (Lihat pula Bom malam Natal
2000)
2001
·
Kekerasan antar etnis Dayak dan Madura terjadi
di Kalimantan
·
IMF menghentikan bantuan moneternya
·
Pada 29 Januari 2001,
ribuan demonstran berkumpul di Gedung
MPR dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi dan ketidak kompetenan. Di bawah
tekanan yang besar, Abdurrahman Wahid lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan
kepada wakil presiden Megawati
Soekarnoputri. Sekitar pukul 20.48, Gus Dur keluar dari Istana
Merdeka. Saat berdiri di ujung teras, Gus Dur malah sempat melambaikan tangan
kepada massa pendukungnya yang berunjuk rasa. Hanya pohon yang ditebang
kelompok pendukung Gus Dur sebagai pelampiasan emosi.
D.
HUTANG
ERA GUS DUR
Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan
nama Gus Dur, naik sebagai Presiden RI ke-4 setelah menang dalam Pemilu 1999.
Namun, pada masa pemerintahan Gus Dur kerap terjadi ketegangan politik yang
kemudian membuat Gus Dur terpaksa lengser setelah berkuasa selama kurang lebih
dua tahun 1999–2001. Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia
mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu naik kembali ke
CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari krisis moneter pada 1998
yang masih terbawa hingga pemerintahannya.
Saat itu utang pemerintah mencapai Rp1.234,28
triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi
negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada PDB,
terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja
negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%,
dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9%
menjadi 25,5% pada tahun yang sama. Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh
ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan
hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar
negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3
miliar pada 2001. Namun, utang nasional secara keseluruhan tetap
meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi
Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB
juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.
E.
KONTROVERSI TENTANG PEMERINTAHAN GUS DUR
SELAMA 21 bulan (20 Oktober 1999 - 23
Juli 2001) memerintah, kepemimpinan Gus
Dur sebagai Presiden RI banyak memunculkan kontroversi baik dalam kaitan
dengan kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri, kabinet, upayanya
memberantas KKN, maupun dalam kebijakannya dengan TNI - Polri. Aneka
kontroversi itulah yang kemudian dipercaya memunculkan serangkaian konflik
internal dalam pemerintahannya, maupun konflik eksternal yang secara langsung
membenturkannya berhadap-hadapan dengan DPR. Benturan demi benturan dengan
lembaga legislatif ini berpuncak pada digelarnya SI MPR 21-26 Juli 2001 yang
berakhir dengan _jatuhnya_ Presiden keempat RI itu dari kursi kepresidenan.
Dur sebagai Presiden RI banyak memunculkan kontroversi baik dalam kaitan
dengan kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri, kabinet, upayanya
memberantas KKN, maupun dalam kebijakannya dengan TNI - Polri. Aneka
kontroversi itulah yang kemudian dipercaya memunculkan serangkaian konflik
internal dalam pemerintahannya, maupun konflik eksternal yang secara langsung
membenturkannya berhadap-hadapan dengan DPR. Benturan demi benturan dengan
lembaga legislatif ini berpuncak pada digelarnya SI MPR 21-26 Juli 2001 yang
berakhir dengan _jatuhnya_ Presiden keempat RI itu dari kursi kepresidenan.
Namun demikian bukan berarti tidak ada
langkah-langkah dan kebijakan Gus Dur
yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Banyak pihak mengakui, tidak
sedikit langkah Gus Dur yang signifikan dan positif serta memberikan warna
maupun nuansa baru bagi iklim berdemokrasi, termasuk langkah-langkah beraninya
menyeret para tersangka pelaku korupsi.
Forum LSM DIY, misalnya, bersaksi bahwa pemerintahan Gus Dur sebenarnya
setapak lebih maju dalam menjalankan agenda reformasi, berupa pengadilan
terhadap para koruptor, pengadilan Golkar, dan pengadilan kejahatan terhadap
HAM oleh militer. Upaya-upaya tersebut, menurut Ketua Dewan Pengurus Forum LSM
DIY, Martinus Ujianto, tentu saja mendapat perlawanan sengit dari Golkar dan
militer dengan menjadikan DPR dan MPR sebagai alat untuk menjatuhkan
pemerintahan Gus Dur.
Pengakuan dari luar negeri pun tetap ada terhadap Gus Dur. Khususnya dalam
membawa Indonesia melewati masa transisi dan memberikan warna baru dalam
kehidupan berdemokrasi. Pengakuan itu antara lain datang dari Presiden Amerika
Serikat George W Bush yang menyatakan bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis
kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan undang-undang telah menunjukkan
komitmennya terhadap kekuasaan hukum dan demokrasi. _Kami mengharapkan semua
pihak akan bekerjasama untuk menjaga perdamaian, mendukung konstitusi dan
mengupayakan rekonsiliasi nasional. Kami menghargai kinerja Presiden Wahid
selama dua tahun terakhir ini, dalam membawa Indonesia melewati masa
transisinya menuju ke arah demokrasi,_ katanya.
yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Banyak pihak mengakui, tidak
sedikit langkah Gus Dur yang signifikan dan positif serta memberikan warna
maupun nuansa baru bagi iklim berdemokrasi, termasuk langkah-langkah beraninya
menyeret para tersangka pelaku korupsi.
Forum LSM DIY, misalnya, bersaksi bahwa pemerintahan Gus Dur sebenarnya
setapak lebih maju dalam menjalankan agenda reformasi, berupa pengadilan
terhadap para koruptor, pengadilan Golkar, dan pengadilan kejahatan terhadap
HAM oleh militer. Upaya-upaya tersebut, menurut Ketua Dewan Pengurus Forum LSM
DIY, Martinus Ujianto, tentu saja mendapat perlawanan sengit dari Golkar dan
militer dengan menjadikan DPR dan MPR sebagai alat untuk menjatuhkan
pemerintahan Gus Dur.
Pengakuan dari luar negeri pun tetap ada terhadap Gus Dur. Khususnya dalam
membawa Indonesia melewati masa transisi dan memberikan warna baru dalam
kehidupan berdemokrasi. Pengakuan itu antara lain datang dari Presiden Amerika
Serikat George W Bush yang menyatakan bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis
kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan undang-undang telah menunjukkan
komitmennya terhadap kekuasaan hukum dan demokrasi. _Kami mengharapkan semua
pihak akan bekerjasama untuk menjaga perdamaian, mendukung konstitusi dan
mengupayakan rekonsiliasi nasional. Kami menghargai kinerja Presiden Wahid
selama dua tahun terakhir ini, dalam membawa Indonesia melewati masa
transisinya menuju ke arah demokrasi,_ katanya.
BAGI masyarakat awam, masa pemerintahan
Gus Dur juga memunculkan suasana baru
dalam kaitan dengan tingkat intensitas berkomunikasi dan berdialognya dengan
presiden. Bukan hanya dalam bentuk kemunculan Gus Dur beberapa kali di layar
televisi dalam acara wawancara khusus maupun dialog interaktif _ suatu wacana
baru, yang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah dijumpai. Namun juga
dialog langsung dengan masyarakat, sebagaimana selalu tersaksikan setiap
selesai salat Jumat.
dalam kaitan dengan tingkat intensitas berkomunikasi dan berdialognya dengan
presiden. Bukan hanya dalam bentuk kemunculan Gus Dur beberapa kali di layar
televisi dalam acara wawancara khusus maupun dialog interaktif _ suatu wacana
baru, yang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah dijumpai. Namun juga
dialog langsung dengan masyarakat, sebagaimana selalu tersaksikan setiap
selesai salat Jumat.
Berbeda dengan Soeharto, dialog
langsung dengan anggota masyarakat yang
dibangun Gus Dur bersifat spontan. Artinya, tidak pernah ada skenario
sebelumnya baik dalam kaitan dengan siapa-siapa yang boleh bertanya maupun
materi pertanyaan, seperti yang selalu tersaksikan dalam serangkaian tanya
jawab Soeharto dengan masyarakat dalam berbagai kesempatan. Warga masyarakat
dapat bertanya mengenai masalah apa saja kepada Gus Dur. Bahkan antara
keduanya hampir tidak ada jarak, baik yang menyangkut tempat duduk maupun
penyebutan namanya. Jarang penanya mengawali pertanyaannya dengan kata-kata,
_Bapak Presiden yang terhormat_, atau _Bapak Presiden yang kami muliakan_.
Para penanya justru merasa lebih senang memulai dengan menyebut nama panggilan
akrabnya, Gus Dur _ tanpa terbersit rasa takut.
Tidak terbilang lagi masjid di berbagai daerah yang pernah menjadi ajang
dialog langsung Gus Dur dengan masyarakat. Pada kesempatan itulah kebanyakan
penanya berkesempatan mengkonfirmasikan suatu masalah atau bahkan isu yang
muncul. Mereka merasa lega setelah mendapat jawaban langsung dari presiden.
TETAPI tidak jarang Gus Dur menggunakan forum dialog Jumat itu untuk
mengemukakan suatu keputusan, gagasan, atau wacana. Ada kalanya gagasan atau
wacana itu sengaja dilemparkan dalam kerangka proof ballon, lemparan isu
dengan mengharapkan tanggapan dari masyarakat luas. Atau merupakan suatu
kebijakan yang akan dijalankan _ tetapi kemudian _diturunkan statusnya_
menjadi wacana setelah mendapat reaksi keras dan bertubi-tubi dari masyarakat
luas. Contohnya, kehendak Gus Dur mencabut Tap No XXV/MPRS/1966 tentang
pembubaran PKI yang juga dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh
wilayah RI.
dibangun Gus Dur bersifat spontan. Artinya, tidak pernah ada skenario
sebelumnya baik dalam kaitan dengan siapa-siapa yang boleh bertanya maupun
materi pertanyaan, seperti yang selalu tersaksikan dalam serangkaian tanya
jawab Soeharto dengan masyarakat dalam berbagai kesempatan. Warga masyarakat
dapat bertanya mengenai masalah apa saja kepada Gus Dur. Bahkan antara
keduanya hampir tidak ada jarak, baik yang menyangkut tempat duduk maupun
penyebutan namanya. Jarang penanya mengawali pertanyaannya dengan kata-kata,
_Bapak Presiden yang terhormat_, atau _Bapak Presiden yang kami muliakan_.
Para penanya justru merasa lebih senang memulai dengan menyebut nama panggilan
akrabnya, Gus Dur _ tanpa terbersit rasa takut.
Tidak terbilang lagi masjid di berbagai daerah yang pernah menjadi ajang
dialog langsung Gus Dur dengan masyarakat. Pada kesempatan itulah kebanyakan
penanya berkesempatan mengkonfirmasikan suatu masalah atau bahkan isu yang
muncul. Mereka merasa lega setelah mendapat jawaban langsung dari presiden.
TETAPI tidak jarang Gus Dur menggunakan forum dialog Jumat itu untuk
mengemukakan suatu keputusan, gagasan, atau wacana. Ada kalanya gagasan atau
wacana itu sengaja dilemparkan dalam kerangka proof ballon, lemparan isu
dengan mengharapkan tanggapan dari masyarakat luas. Atau merupakan suatu
kebijakan yang akan dijalankan _ tetapi kemudian _diturunkan statusnya_
menjadi wacana setelah mendapat reaksi keras dan bertubi-tubi dari masyarakat
luas. Contohnya, kehendak Gus Dur mencabut Tap No XXV/MPRS/1966 tentang
pembubaran PKI yang juga dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh
wilayah RI.
Dalam berbagai
kesempatan Gus Dur secara gigih mempertahankan kehendaknya itu
dengan dalih tidak pada tempatnya negara melarang suatu ajaran (isme) _ karena
diterima atau ditolaknya suatu ajaran, masyarakatlah yang berhak
menentukannya. Belakangan, Gus Dur menurunkan status kehendaknya itu menjadi
wacana ketika sejumlah fraksi mengancam akan membawa permasalahan tersebut ke
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Demikian pula dengan keinginan pemerintah
untuk membuka hubungan dagang secara langsung dengan negara Zionis, Israel.
Setelah menunai kecaman dari berbagai kalangan di dalam negeri karena
keinginan itu dinilai bertentangan dengan Mukaddimah UUD 1945, serta protes
sejumlah besar negara Arab _ Menlu Alwi Shihab menyatakan pemerintah
berkeputusan menundanya.
dengan dalih tidak pada tempatnya negara melarang suatu ajaran (isme) _ karena
diterima atau ditolaknya suatu ajaran, masyarakatlah yang berhak
menentukannya. Belakangan, Gus Dur menurunkan status kehendaknya itu menjadi
wacana ketika sejumlah fraksi mengancam akan membawa permasalahan tersebut ke
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Demikian pula dengan keinginan pemerintah
untuk membuka hubungan dagang secara langsung dengan negara Zionis, Israel.
Setelah menunai kecaman dari berbagai kalangan di dalam negeri karena
keinginan itu dinilai bertentangan dengan Mukaddimah UUD 1945, serta protes
sejumlah besar negara Arab _ Menlu Alwi Shihab menyatakan pemerintah
berkeputusan menundanya.
Dilihat
dari sudut pandang Islam, terpilihnya Gus Dur telah membuka babak baru politik
Islam di Indonesia. Setelah beberapa dekade mengalami marginalisasi, melalui
sebuah proses evolusi sosiologis yang sangat panjang, Islam kemudian berhasil
tampil di panggung kekuasaan. Gus Dur, salah satu elite Islam terkemuka, menjadi
simbol yang amat membanggakan bukan saja bagi umat NU, tetapi juga bagi umat
Islam secara keseluruhan. Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden melengkapi rasa
bangga umat Islam, karena dua orang elite Islam terbaik, Amien Rais dan Akbar
Tandjung, sebelumnya telah berhasil menduduki jabatan politik di lembaga
tertinggi dan tinggi negara, MPR dan DPR. Tak terbayangkan sama sekali, jika
suatu masa gema takbir, tahmid, dan salawat berkumandang di Gedung MPR, yang
menandai kemenangan Islam dalam percaturan politik nasional. Tentu saja sebuah
kemenangan yang diharapkan akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa,
sesuai dengan pesan moral agama bahwa ``Islam adalah rahmatan lil alamin.``
Harapan ini cukup beralasan, karena elite-elite politik Islam, terutama Gus Dur
adalah figur yang mewakili gerakan Islam liberal, dengan agenda utama
demokratisasi, keadilan, dan keterbukaan.
Sebagai pemikir Islam terpandang, Gus Dur mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam bereksperimentasi tentang Islam liberal, yang dinilai kompatibel dengan cita-cita nasional. Agenda utama gerakan Islam liberal adalah menjadikan Islam sebagai landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ideal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan, demokrasi, dan penghargaan pada pluralisme harus menjiwai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi kalangan pendukung gerakan Islam liberal, simbol Islam formal itu bukan suatu hal yang utama dan tak penting. Yang terpenting adalah mengejawantahkan nilai-nilai ideal tersebut dalam praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Substansi dan spirit Islam jauh lebih utama ketimbang segala hal yang bersifat simbolis.
Figur yang unik
Bagi pemikir Islam liberal seperti Gus Dur, Islam itu bukan suatu doktrin beku yang menutup peluang bagi adanya interpretasi. Islam adalah sebuah teks terbuka, yang menyediakan ruang bagi penafsiran-penafsiran baru berkaitan dengan isu-isu kontemporer, sejalan dengan perkembangan zaman. Perubahan dinamis dalam kehidupan masyarakat, menuntut umat Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai respons terhadap fenomena kehidupan modern. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, Islam tak perlu ditampilkan secara formal, misalnya, sebagai agama negara seperti di Iran atau Sudan. Sebagai bangsa majemuk, umat Islam harus lebih mengutamakan penegakan keadilan, pembangunan demokrasi, dan pengembangan watak inklusivisme.
Jika umat Islam mampu merealisasikan ide-ide besar tersebut, maka hal itu merupakan sumbangan terpenting bagi ikhtiar mewujudkan cita-cita Indonesia modern. Sebagai sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam itu kompatibel dengan kemodernan, demokratis, dan terbuka. Indonesia harus menjadi alternatif rujukan bagi pandangan masyarakat Barat tentang Islam. Bahwa wajah Islam itu tak selalu radikal dan fundamentalis seperti di Iran atau Aljazair, tapi ada juga wajah Islam yang moderat seperti di Indonesia.
Gus Dur merupakan figur yang unik, dan mungkin fenomenal. Ia merupakan paduan antara pemikir dan aktivis sekaligus. Sebagai pemikir, Gus Dur terlibat secara sangat intensif dalam pergumulan pemikiran Islam berbagai mazhab dan beragam aliran. Basis pemikiran keislaman Gus Dur berakar pada tradisi keilmuan klasik yang sangat kuat, dengan kombinasi wawasan dan khazanah pemikiran modern yang sangat kaya. Gus Dur acap kali terlibat dalam perdebatan intelektual, dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh `gerakan kiri` seperti Oscar Camara atau Leonardo Boff di Brasil. Ia memahami betul filsafat pemikiran dalam teologi pembebasan dan gerakan sosial Katolik di Amerika Latin yang sangat populer itu. Barangkali lantaran terinspirasi oleh gerakan kiri tersebut, maka corak pemikiran dan pandangan politik Gus Dur agak sedikit berwarna `sosialis-demokrat`.
Sebagai aktivis, sudah sejak lama Gus Dur terlibat dalam perjuangan demokrasi di Tanah Air. Ia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari bawah (baca: akar-rumput). Sumbangan terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat di lapisan bawah melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan lembaga sosial ekonomi. Bahwa demokrasi itu hanya bisa dibangun di atas landasan pendidikan yang kuat, dengan ditopang oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang memadai. Demokrasi mensyaratkan tersedianya lapisan masyarakat terdidik dan golongan sosial yang secara ekonomi relatif makmur. Gus Dur menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi, yang bertumpu pada perkuatan lembaga-lembaga sosial nonnegara yang ada di masyarakat.
Menjadi sumbu konflik
Dengan memangku jabatan presiden, sesungguhnya Gus Dur mempunyai peluang besar untuk merealisasikan ide-ide besar tersebut. Ia juga bisa mengubah pendekatan dari cultural politics ke structural politics, menggunakan instrumen birokrasi pemerintahan dan institusi negara secara efektif, guna mempercepat proses demokratisasi. Namun, sayang sekali, pemerintahan Gus Dur saat ini sedang mengalami krisis akibat konflik antarelite politik yang tak berkesudahan. Yang amat disayangkan, konflik itu justru bermula dari sikap dan kebijakan politik Gus Dur, rangkaian kontroversi yang tak pernah henti, merusak koalisi dan hubungan baik dengan parlemen, serta memerintah semau sendiri. Gus Dur yang semula menjadi figur integrator di antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai, sekarang justru berubah menjadi sumbu konflik di kalangan elite politik. Legitimasi politiknya kian melemah dan dukungan moral pun nyaris tak tersisa lagi. Pemerintahan Gus Dur dianggap sudah tak kredibel lagi, sehingga kehilangan kepercayaan baik dari parlemen maupun publik pada umumnya. Gus Dur terancam kehilangan jabatan dalam SI MPR, 1 Agustus mendatang. Jika saja Gus Dur diberhentikan dari jabatan presiden, maka akan menyisakan dua problem, kelangsungan proses demokratisasi dan masa depan politik Islam.
Pertama, kita memaklumi betapa proses transisi menuju demokrasi memang tak selalu berjalan mulus. Ini disebabkan masih kuatnya sisa-sisa kekuatan Orde Baru, terutama di birokrasi pemerintahan dan partai politik, yang menjadi penghalang utama proses demokratisasi. Selain itu, di kalangan kelompok dan kekuatan reformasi sendiri terjadi kompetisi yang sangat sengit, terutama berkaitan dengan perebutan akses sumber daya politik dan ekonomi. Tampak jelas betapa kepentingan kelompok di antara mereka sangat mendominasi dalam pergumulan politik nasional, sehingga cenderung mengabaikan agenda reformasi, yang seharusnya mereka perjuangkan dengan penuh kesungguhan. Kedua hal tersebut merupakan faktor determinan, yang menyebabkan proses transisi menuju demokrasi berjalan tersendat-sendat.
Kedua, dalam konteks politik Islam, Gus Dur memang menjadi simbol penting bagi kebangkitan politik Islam, setelah dalam waktu yang sangat lama terisolasi. Namun, Gus Dur bukanlah satu-satunya wakil politik Islam, yang diharapkan dapat mengartikulasikan kepentingan dan mengakomodasikan aspirasi umat Islam. Kita tahu, kekuatan politik Islam telah menyebar di berbagai tempat. Selama satu dekade ini telah terjadi proses proliferasi gerakan politik Islam, yang menembus institusi negara dan birokrasi pemerintahan. Perkembangan politik Islam terus membaik dan kian menguat, karena ditopang oleh landasan formasi sosial baru yang relatif kukuh yakni lapisan kelompok terpelajar, yang berkiprah di berbagai lini kehidupan. Selain politikus, banyak kalangan akademisi, intelektual, peneliti, pengusaha, aktivis LSM, dan kaum profesional yang mempunyai latar belakang gerakan Islam. Mereka kemudian membentuk sebuah entitas politik tersendiri, yang menjadi basis bagi eksistensi politik Islam.
Maka andai saja Gus Dur berhenti, agenda demokratisasi harus tetap diperjuangkan. Masa depan politik Islam juga tak akan terganggu hanya lantaran Gus Dur tak lagi menjabat presiden. Dengan atau tanpa Gus Dur menjabat presiden, perjuangan mewujudkan Indonesia yang demokratis dan ikhtiar membangun politik Islam yang membawa kemaslahatan bagi seluruh bangsa, harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Wallahualam.***
Sebagai pemikir Islam terpandang, Gus Dur mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam bereksperimentasi tentang Islam liberal, yang dinilai kompatibel dengan cita-cita nasional. Agenda utama gerakan Islam liberal adalah menjadikan Islam sebagai landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ideal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan, demokrasi, dan penghargaan pada pluralisme harus menjiwai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi kalangan pendukung gerakan Islam liberal, simbol Islam formal itu bukan suatu hal yang utama dan tak penting. Yang terpenting adalah mengejawantahkan nilai-nilai ideal tersebut dalam praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Substansi dan spirit Islam jauh lebih utama ketimbang segala hal yang bersifat simbolis.
Figur yang unik
Bagi pemikir Islam liberal seperti Gus Dur, Islam itu bukan suatu doktrin beku yang menutup peluang bagi adanya interpretasi. Islam adalah sebuah teks terbuka, yang menyediakan ruang bagi penafsiran-penafsiran baru berkaitan dengan isu-isu kontemporer, sejalan dengan perkembangan zaman. Perubahan dinamis dalam kehidupan masyarakat, menuntut umat Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai respons terhadap fenomena kehidupan modern. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, Islam tak perlu ditampilkan secara formal, misalnya, sebagai agama negara seperti di Iran atau Sudan. Sebagai bangsa majemuk, umat Islam harus lebih mengutamakan penegakan keadilan, pembangunan demokrasi, dan pengembangan watak inklusivisme.
Jika umat Islam mampu merealisasikan ide-ide besar tersebut, maka hal itu merupakan sumbangan terpenting bagi ikhtiar mewujudkan cita-cita Indonesia modern. Sebagai sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam itu kompatibel dengan kemodernan, demokratis, dan terbuka. Indonesia harus menjadi alternatif rujukan bagi pandangan masyarakat Barat tentang Islam. Bahwa wajah Islam itu tak selalu radikal dan fundamentalis seperti di Iran atau Aljazair, tapi ada juga wajah Islam yang moderat seperti di Indonesia.
Gus Dur merupakan figur yang unik, dan mungkin fenomenal. Ia merupakan paduan antara pemikir dan aktivis sekaligus. Sebagai pemikir, Gus Dur terlibat secara sangat intensif dalam pergumulan pemikiran Islam berbagai mazhab dan beragam aliran. Basis pemikiran keislaman Gus Dur berakar pada tradisi keilmuan klasik yang sangat kuat, dengan kombinasi wawasan dan khazanah pemikiran modern yang sangat kaya. Gus Dur acap kali terlibat dalam perdebatan intelektual, dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh `gerakan kiri` seperti Oscar Camara atau Leonardo Boff di Brasil. Ia memahami betul filsafat pemikiran dalam teologi pembebasan dan gerakan sosial Katolik di Amerika Latin yang sangat populer itu. Barangkali lantaran terinspirasi oleh gerakan kiri tersebut, maka corak pemikiran dan pandangan politik Gus Dur agak sedikit berwarna `sosialis-demokrat`.
Sebagai aktivis, sudah sejak lama Gus Dur terlibat dalam perjuangan demokrasi di Tanah Air. Ia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari bawah (baca: akar-rumput). Sumbangan terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat di lapisan bawah melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan lembaga sosial ekonomi. Bahwa demokrasi itu hanya bisa dibangun di atas landasan pendidikan yang kuat, dengan ditopang oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang memadai. Demokrasi mensyaratkan tersedianya lapisan masyarakat terdidik dan golongan sosial yang secara ekonomi relatif makmur. Gus Dur menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi, yang bertumpu pada perkuatan lembaga-lembaga sosial nonnegara yang ada di masyarakat.
Menjadi sumbu konflik
Dengan memangku jabatan presiden, sesungguhnya Gus Dur mempunyai peluang besar untuk merealisasikan ide-ide besar tersebut. Ia juga bisa mengubah pendekatan dari cultural politics ke structural politics, menggunakan instrumen birokrasi pemerintahan dan institusi negara secara efektif, guna mempercepat proses demokratisasi. Namun, sayang sekali, pemerintahan Gus Dur saat ini sedang mengalami krisis akibat konflik antarelite politik yang tak berkesudahan. Yang amat disayangkan, konflik itu justru bermula dari sikap dan kebijakan politik Gus Dur, rangkaian kontroversi yang tak pernah henti, merusak koalisi dan hubungan baik dengan parlemen, serta memerintah semau sendiri. Gus Dur yang semula menjadi figur integrator di antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai, sekarang justru berubah menjadi sumbu konflik di kalangan elite politik. Legitimasi politiknya kian melemah dan dukungan moral pun nyaris tak tersisa lagi. Pemerintahan Gus Dur dianggap sudah tak kredibel lagi, sehingga kehilangan kepercayaan baik dari parlemen maupun publik pada umumnya. Gus Dur terancam kehilangan jabatan dalam SI MPR, 1 Agustus mendatang. Jika saja Gus Dur diberhentikan dari jabatan presiden, maka akan menyisakan dua problem, kelangsungan proses demokratisasi dan masa depan politik Islam.
Pertama, kita memaklumi betapa proses transisi menuju demokrasi memang tak selalu berjalan mulus. Ini disebabkan masih kuatnya sisa-sisa kekuatan Orde Baru, terutama di birokrasi pemerintahan dan partai politik, yang menjadi penghalang utama proses demokratisasi. Selain itu, di kalangan kelompok dan kekuatan reformasi sendiri terjadi kompetisi yang sangat sengit, terutama berkaitan dengan perebutan akses sumber daya politik dan ekonomi. Tampak jelas betapa kepentingan kelompok di antara mereka sangat mendominasi dalam pergumulan politik nasional, sehingga cenderung mengabaikan agenda reformasi, yang seharusnya mereka perjuangkan dengan penuh kesungguhan. Kedua hal tersebut merupakan faktor determinan, yang menyebabkan proses transisi menuju demokrasi berjalan tersendat-sendat.
Kedua, dalam konteks politik Islam, Gus Dur memang menjadi simbol penting bagi kebangkitan politik Islam, setelah dalam waktu yang sangat lama terisolasi. Namun, Gus Dur bukanlah satu-satunya wakil politik Islam, yang diharapkan dapat mengartikulasikan kepentingan dan mengakomodasikan aspirasi umat Islam. Kita tahu, kekuatan politik Islam telah menyebar di berbagai tempat. Selama satu dekade ini telah terjadi proses proliferasi gerakan politik Islam, yang menembus institusi negara dan birokrasi pemerintahan. Perkembangan politik Islam terus membaik dan kian menguat, karena ditopang oleh landasan formasi sosial baru yang relatif kukuh yakni lapisan kelompok terpelajar, yang berkiprah di berbagai lini kehidupan. Selain politikus, banyak kalangan akademisi, intelektual, peneliti, pengusaha, aktivis LSM, dan kaum profesional yang mempunyai latar belakang gerakan Islam. Mereka kemudian membentuk sebuah entitas politik tersendiri, yang menjadi basis bagi eksistensi politik Islam.
Maka andai saja Gus Dur berhenti, agenda demokratisasi harus tetap diperjuangkan. Masa depan politik Islam juga tak akan terganggu hanya lantaran Gus Dur tak lagi menjabat presiden. Dengan atau tanpa Gus Dur menjabat presiden, perjuangan mewujudkan Indonesia yang demokratis dan ikhtiar membangun politik Islam yang membawa kemaslahatan bagi seluruh bangsa, harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Wallahualam.***
F.
MASA
KRITIS PEMERINTAHAN GUS DUR
PADA tahun 2000, dukungan publik terhadap pemerintahan Gus Dur diperkirakan menurun. Belum seratus hari pemerintahan Gus Dur terbentuk, tanda-tanda ketidak puasan atas pemerintahan ini mulai tumbuh. Jika popularitas pemerintah Gus Dur terus merosot, di tahun 2000 masyarakat dapat kembali menyatakan mosi tidak percaya atas pemerintahan baru. Hal ini dapat membuat pemerintahan Gus Dur tidak efektif untuk memimpin perubahan sistemik menuju Indonesia baru yang demokratis dan bersih dari korupsi.
PADA tahun 2000, dukungan publik terhadap pemerintahan Gus Dur diperkirakan menurun. Belum seratus hari pemerintahan Gus Dur terbentuk, tanda-tanda ketidak puasan atas pemerintahan ini mulai tumbuh. Jika popularitas pemerintah Gus Dur terus merosot, di tahun 2000 masyarakat dapat kembali menyatakan mosi tidak percaya atas pemerintahan baru. Hal ini dapat membuat pemerintahan Gus Dur tidak efektif untuk memimpin perubahan sistemik menuju Indonesia baru yang demokratis dan bersih dari korupsi.
Demikianlah sebagian hasil dari survai dan analisa yang
dibuat oleh Pusat Studi Demokrasi, Universitas Jayabaya. Survai ini
dilakukan di empat kota besar: Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar,
melibatkan 2.000 responden yang mewakili golongan sosial-ekonomi atas,
menengah dan bawah secara proporsional.
Legitimasi pemerintahan Gus Dur memang masih kuat. Pemilihan Presiden dan pemilu yang relatif demokratis tahun 1999 menjadi penopang utama legitimasi itu. Sementara Gus Dur sendiri melakukan politik akomodasi yang ekstrem. Semua partai besar di parlemen yang menang pemilu, termasuk TNI yang tak ikut pemilu, menjadi bagian pemerintahan Gus Dur. Dapat dikatakan pemerintahan Gus Dur mewakili hampir semua masyarakat pemilih dan kekuatan politik utama masyarakat.
Berdasarkan alasan di atas, popularitas pemerintahan Gus Dur seharusnya sangat tinggi. Ditambah lagi, masa sebelum seratus hari pelantikannya adalah masa bulan madu. Dalam masa itu tingkat penerimaan masyarakat atas pemerintahan baru mesti lebih tinggi lagi. Masa bulan madu semestinya menyebabkan bias akibat meluapnya antusias dan harapan publik.
Namun hasil survai menunjukan bahwa popularitas pemerintahan Gus Dur tidak setinggi semestinya. Demikian pula tingkat kepercayaan atas kemampuan pemerintah Gus Dur untuk menyelesaikan krisis dan membawa Indonesia menuju pemerintahan yang bersih dari korupsi juga di bawah 60%.
Dengan kata lain, belum seratus hari pemerintahan Gus Dur terbentuk, ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur mulai tumbuh. Sebanyak 30,7% tidak puas dengan situasi politik pemerintahan Gus Dur. Sebanyak 42,9% tak puas dengan kondisi ekonominya. Sebesar 49,8% tidak puas dengan gaya kepemimpinan Gus Dur. Sebanyak 50,8% merasa tak aman hidup dalam era pemerintahan Gus Dur. Lebih dari 40% tidak mempercayai pemerintahan ini mampu membawa Indonesia menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Jika angka ketidak-puasan itu terjadi dalam sistem politik di Amerika Serikat, sebagai misal, tingkat kepuasan di bawah 70% atau 60% masih dianggap baik. Politik di Amerika Serikat adalah politik dua partai yang sama-sama kuat. Masyarakat terbelah secara sama rata di antara dua partai itu. Pemerintahan baru di sana adalah pemerintahan satu partai. Dengan sendirinya publik yang berasal dari partai yang tidak memerintah, wajar saja jika tidak memberikan penilaian yang memuaskan atas presiden dari partai yang sedang memerintah.
Tetapi untuk kasus pemerintahan Gus Dur, hal ini menjadi lain. Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintah yang akomodasi politiknya sangat ekstrem. Semua partai besar yang masuk parlemen, terwakili dalam pemerintahan ini. Berarti, kabinet ini seharusnya mewakili hampir seratus persen masyarakat pemilih. Apalagi di era awal terbentuknya pemerintahan baru, seharusnya tingkat popularitasnya mencapai angka 80% sampai 90%. Kenyataannya survai memperlihatkan angka popularitas pemerintah Gus Dur jauh di bawah angka itu. Besarnya angka ketidak-puasan itu sudah cukup mengkhawatirkan. Tanpa ada gebrakan pemerintahan Gus Dur yang efeknya terasa pada publik,ketidak-puasan itu dapat terus meluas. Ujungnya, pemerintahan Gus Dur dapat jatuh di tengah jalan. Program transisi dan reformasi pun dapat tersendat.
Penyebab Ada beberapa kemungkinan penyebab popularitas pemerintahan Gus Dur tidak setinggi seharusnya. Ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur yang baru berjalan beberapa minggu itu dapat disebabkan oleh empat alasan.
Pertama, pemerintahan Gus Dur memang tidak dipersiapkan jauh hari. Gus Dur bukanlah tokoh dari partai pemenang pemilu. Ia terpilih dari proses yang unik, yang akhirnya menyingkirkan dua kandidat utama saat itu, Megawati dan Habibie. Tidak seperti saingannya, sebelum pemilihan presiden, Gus Dur menyiapkan siapa yang akan menjadi tim kabinetnya. Terlebih lagi, Gus Dur tidak pula menyiapkan program kerja seratus hari pertama setelah dilantik, sebagaimana yang dilakukan para presiden terpilih di negara maju.
Akibatnya, setelah ia menjadi presiden dan membentuk kabinet, tak ada kejelasan tentang program kerja. Tak ada pula kejelasan tentang platform bersama yang menjadi tuntutan kabinet. Semua serba dibuat berdasarkan kompromi dan ketergesaan. Masyarakat melihat sebuah pemerintahan demokratis berjalan tanpa program yang jelas. Ketidak-puasan mudah lahir dalam situasi seperti itu.
Kedua, pemerintahan Gus Dur juga harus berlomba dengan waktu. Pemerintahan ini tidak berada dalam situasi normal. Sebaliknya, pemerintahan itu lahir dalam situasi krisis yang meminta penanganan segera. Keterlambatan bertindak baik dalam persoalan politik ataupun ekonomi dapat kehilangan banyak. Apalagi jika sang pemimpin dinilai bukan saja terlambat tetapi salah bertindak.
Ketiga, pemerintah Gus Dur saat itu berhadapan dengan dua pilihan yang bersifat trade off antara efektivitas pemerintahan dan utang budi politik. Jika ingin membalas utang budi aneka partai yang menyebabkannya terpilih, Gus Dur mesti merekrut sebanyak mungkin partai politik yang menolongnya. Sebaliknya, dari sisi efektivitas pemerintahan, makin banyak dan beragam partai politik yang turut dalam pemerintahan, makin tak efektif pemerintahan itu, karena sulitnya mencari pesepakatan dan platform bersama.
Gus Dur agaknya memilih alternatif pertama. Jika yang ia utamakan adalah pemerintahan yang efektif, partai yang perlu ia ajak cukup dua atau tiga partai saja yang memiliki kedekatan platform. Sulit membayangkan sebuah pemerintahan yang terdiri atas enam partai yang platform-nya berbeda bahkan saling berlawanan dapat secara sinkron menjadi pemerintahan yang efektif.
Keempat, Gus Dur pribadi masih memerlukan waktu untuk mentransformasikan dirinya, dari pemimpin sebuah organisasi keagamaan menjadi pemimpin sebuah negara modern. Sebagai pemimpin negara modern ada tuntutan lebih yang masih belum dipenuhi Gus Dur, seperti kemampuan manajerial dan kearifan negarawan yang berhati-hati dalam membuat statemen dan membuat kebijakan.
Empat alasan di atas menjadi penyebab mulai tumbuhnya ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur. Ketidak-puasan itu dapat mengecil ataupun membesar.
Kebijakan Mendatang Agar popularitas pemerintah Gus Dur tidak makin merosot, harus ada kebijakan kongkret yang efeknya terasa langsung oleh publik luas. Hasil survai ini memperlihatkan berbagai kerangka kehendak yang hidup secara dominan dalam sentimen publik. Berbagai kebijakan yang diminta antara lain:
Hukum bagi pejabat yang korupsi (83%); Otonomi daerah yang luas bagi tiap propinsi (52,3%); Harga barang-barang yang terkendali (42,5%); Meningkatkan rasa aman (43,3%); Gus Dur mesti lebih matang dalam membuat pernyataan publik (27%).
Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata bukanlah pilihan mayoritas. Sentimen mayoritas masih menghendaki negara kesatuan namun dengan otonomi yang luas.
Hal lain yang perlu diperhatikan, berdasarkan hasil survai, di masa mendatang, Gus Dur agaknya mesti memiliki tim politik yang membantunya dalam membuat pernyataan publik ataupun kebijakan.
Yang menarik dari temuan survai dalam aspek politik ini ialah bahwa eksistensi Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk berdasarkan akomodasi dari berbagai kelompok kepentingan dalam pandangan umum publik dinilai sebagai pemerintahan dari hasil pemilu yang demokratis (35,9%) dan lebih dapat dipercaya (33,1%). Suatu hal yang sebenarnya dapat diperdebatkan jika dikaji dalam perspektif demokrasi yang sebenarnya. Apologia publik terhadap makna demokrasi ditunjukkan oleh pandangannya terhadap kehadiran Presiden Gus Dur sebagai hal yang dapat diterima karena personifikasi popularitas Gus Dur yang dapat diterima oleh banyak pihak sebagaimana dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, agar Gus Dur lebih efektif dalam memimpin negara,publik berharap selain agar para menterinya dapat bekerja sama dan mendengar aspirasi rakyat (48,7% responden), Gus Dur perlu memiliki tim politik yang profesional (21% responden) dan berasal dari kelompok ahli politik nonpartisan (54,1% responden). Aspirasi publik semacam ini menunjukkan bahwa objektivitas perjalanan Kabinet Persatuan Nasional perlu dijaga. Oleh karena itu, pulik juga berharap munculnya kekuatan oposisi yang mampu mengontrol pemerintah (19,6%).
Harapan publik di sektor ekonomi juga menunjukkan sikap rasional dalam mencermati keadaan yang sedang dialami Indonesia sebagai warisan yang tidak menyenangkan dari pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, mengatasi krisis ekonomi (46,7%) dengan cara tidak menaikkan harga barang secara umum, meningkatkan kepercayaan para penanam modal serta membuka lowongan pekerjaan baru menjadi prioritas yang dituntut publik dalam kebijakan pemerintah Gus Dur - Megawati.
Kepedihan ekonomi yang dirasakan publik menimbulkan tuntutan publik (30,4% responden) terhadap pemerintahan Gus Dur - Megawati agar mampu memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan cara membentuk lembaga independen pengawas korupsi (47,2%), mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya, serta pengumuman kekayaan Presiden, Wapres dan para menteri.
Tuntutan publik terhadap rasa keadilan sangatlah tinggi. Hal ini terekam dalam tuntutan publik agar para menteri dan/atau pejabat tinggi negara yang terbukti terlibat korupsi diganti dan dihukum (83,2% responden), tidak terkecuali kasus mantan Presiden Soeharto dan kroninya untuk diadili dan jika terbukti bersalah dihukum (60,3% responden). Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata bukanlah pilihan mayoritas, Sentimen mayoritas masih menghendaki negara kesatuan dengan otonomi yang luas (52,3%).
Memang terlalu dini untuk memberikan penilaian terhadap pemerintahan yang baru berjalan kurang dari seratus hari. Oleh karena itu survai tahap pertama ini menjaring informasi yang berkaitan dengan masalah persepsi, kepercayaan dan harapan publik terhadap Pemerintahan Gus Dur- Megawati.
Legitimasi pemerintahan Gus Dur memang masih kuat. Pemilihan Presiden dan pemilu yang relatif demokratis tahun 1999 menjadi penopang utama legitimasi itu. Sementara Gus Dur sendiri melakukan politik akomodasi yang ekstrem. Semua partai besar di parlemen yang menang pemilu, termasuk TNI yang tak ikut pemilu, menjadi bagian pemerintahan Gus Dur. Dapat dikatakan pemerintahan Gus Dur mewakili hampir semua masyarakat pemilih dan kekuatan politik utama masyarakat.
Berdasarkan alasan di atas, popularitas pemerintahan Gus Dur seharusnya sangat tinggi. Ditambah lagi, masa sebelum seratus hari pelantikannya adalah masa bulan madu. Dalam masa itu tingkat penerimaan masyarakat atas pemerintahan baru mesti lebih tinggi lagi. Masa bulan madu semestinya menyebabkan bias akibat meluapnya antusias dan harapan publik.
Namun hasil survai menunjukan bahwa popularitas pemerintahan Gus Dur tidak setinggi semestinya. Demikian pula tingkat kepercayaan atas kemampuan pemerintah Gus Dur untuk menyelesaikan krisis dan membawa Indonesia menuju pemerintahan yang bersih dari korupsi juga di bawah 60%.
Dengan kata lain, belum seratus hari pemerintahan Gus Dur terbentuk, ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur mulai tumbuh. Sebanyak 30,7% tidak puas dengan situasi politik pemerintahan Gus Dur. Sebanyak 42,9% tak puas dengan kondisi ekonominya. Sebesar 49,8% tidak puas dengan gaya kepemimpinan Gus Dur. Sebanyak 50,8% merasa tak aman hidup dalam era pemerintahan Gus Dur. Lebih dari 40% tidak mempercayai pemerintahan ini mampu membawa Indonesia menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Jika angka ketidak-puasan itu terjadi dalam sistem politik di Amerika Serikat, sebagai misal, tingkat kepuasan di bawah 70% atau 60% masih dianggap baik. Politik di Amerika Serikat adalah politik dua partai yang sama-sama kuat. Masyarakat terbelah secara sama rata di antara dua partai itu. Pemerintahan baru di sana adalah pemerintahan satu partai. Dengan sendirinya publik yang berasal dari partai yang tidak memerintah, wajar saja jika tidak memberikan penilaian yang memuaskan atas presiden dari partai yang sedang memerintah.
Tetapi untuk kasus pemerintahan Gus Dur, hal ini menjadi lain. Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintah yang akomodasi politiknya sangat ekstrem. Semua partai besar yang masuk parlemen, terwakili dalam pemerintahan ini. Berarti, kabinet ini seharusnya mewakili hampir seratus persen masyarakat pemilih. Apalagi di era awal terbentuknya pemerintahan baru, seharusnya tingkat popularitasnya mencapai angka 80% sampai 90%. Kenyataannya survai memperlihatkan angka popularitas pemerintah Gus Dur jauh di bawah angka itu. Besarnya angka ketidak-puasan itu sudah cukup mengkhawatirkan. Tanpa ada gebrakan pemerintahan Gus Dur yang efeknya terasa pada publik,ketidak-puasan itu dapat terus meluas. Ujungnya, pemerintahan Gus Dur dapat jatuh di tengah jalan. Program transisi dan reformasi pun dapat tersendat.
Penyebab Ada beberapa kemungkinan penyebab popularitas pemerintahan Gus Dur tidak setinggi seharusnya. Ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur yang baru berjalan beberapa minggu itu dapat disebabkan oleh empat alasan.
Pertama, pemerintahan Gus Dur memang tidak dipersiapkan jauh hari. Gus Dur bukanlah tokoh dari partai pemenang pemilu. Ia terpilih dari proses yang unik, yang akhirnya menyingkirkan dua kandidat utama saat itu, Megawati dan Habibie. Tidak seperti saingannya, sebelum pemilihan presiden, Gus Dur menyiapkan siapa yang akan menjadi tim kabinetnya. Terlebih lagi, Gus Dur tidak pula menyiapkan program kerja seratus hari pertama setelah dilantik, sebagaimana yang dilakukan para presiden terpilih di negara maju.
Akibatnya, setelah ia menjadi presiden dan membentuk kabinet, tak ada kejelasan tentang program kerja. Tak ada pula kejelasan tentang platform bersama yang menjadi tuntutan kabinet. Semua serba dibuat berdasarkan kompromi dan ketergesaan. Masyarakat melihat sebuah pemerintahan demokratis berjalan tanpa program yang jelas. Ketidak-puasan mudah lahir dalam situasi seperti itu.
Kedua, pemerintahan Gus Dur juga harus berlomba dengan waktu. Pemerintahan ini tidak berada dalam situasi normal. Sebaliknya, pemerintahan itu lahir dalam situasi krisis yang meminta penanganan segera. Keterlambatan bertindak baik dalam persoalan politik ataupun ekonomi dapat kehilangan banyak. Apalagi jika sang pemimpin dinilai bukan saja terlambat tetapi salah bertindak.
Ketiga, pemerintah Gus Dur saat itu berhadapan dengan dua pilihan yang bersifat trade off antara efektivitas pemerintahan dan utang budi politik. Jika ingin membalas utang budi aneka partai yang menyebabkannya terpilih, Gus Dur mesti merekrut sebanyak mungkin partai politik yang menolongnya. Sebaliknya, dari sisi efektivitas pemerintahan, makin banyak dan beragam partai politik yang turut dalam pemerintahan, makin tak efektif pemerintahan itu, karena sulitnya mencari pesepakatan dan platform bersama.
Gus Dur agaknya memilih alternatif pertama. Jika yang ia utamakan adalah pemerintahan yang efektif, partai yang perlu ia ajak cukup dua atau tiga partai saja yang memiliki kedekatan platform. Sulit membayangkan sebuah pemerintahan yang terdiri atas enam partai yang platform-nya berbeda bahkan saling berlawanan dapat secara sinkron menjadi pemerintahan yang efektif.
Keempat, Gus Dur pribadi masih memerlukan waktu untuk mentransformasikan dirinya, dari pemimpin sebuah organisasi keagamaan menjadi pemimpin sebuah negara modern. Sebagai pemimpin negara modern ada tuntutan lebih yang masih belum dipenuhi Gus Dur, seperti kemampuan manajerial dan kearifan negarawan yang berhati-hati dalam membuat statemen dan membuat kebijakan.
Empat alasan di atas menjadi penyebab mulai tumbuhnya ketidak-puasan atas pemerintahan Gus Dur. Ketidak-puasan itu dapat mengecil ataupun membesar.
Kebijakan Mendatang Agar popularitas pemerintah Gus Dur tidak makin merosot, harus ada kebijakan kongkret yang efeknya terasa langsung oleh publik luas. Hasil survai ini memperlihatkan berbagai kerangka kehendak yang hidup secara dominan dalam sentimen publik. Berbagai kebijakan yang diminta antara lain:
Hukum bagi pejabat yang korupsi (83%); Otonomi daerah yang luas bagi tiap propinsi (52,3%); Harga barang-barang yang terkendali (42,5%); Meningkatkan rasa aman (43,3%); Gus Dur mesti lebih matang dalam membuat pernyataan publik (27%).
Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata bukanlah pilihan mayoritas. Sentimen mayoritas masih menghendaki negara kesatuan namun dengan otonomi yang luas.
Hal lain yang perlu diperhatikan, berdasarkan hasil survai, di masa mendatang, Gus Dur agaknya mesti memiliki tim politik yang membantunya dalam membuat pernyataan publik ataupun kebijakan.
Yang menarik dari temuan survai dalam aspek politik ini ialah bahwa eksistensi Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk berdasarkan akomodasi dari berbagai kelompok kepentingan dalam pandangan umum publik dinilai sebagai pemerintahan dari hasil pemilu yang demokratis (35,9%) dan lebih dapat dipercaya (33,1%). Suatu hal yang sebenarnya dapat diperdebatkan jika dikaji dalam perspektif demokrasi yang sebenarnya. Apologia publik terhadap makna demokrasi ditunjukkan oleh pandangannya terhadap kehadiran Presiden Gus Dur sebagai hal yang dapat diterima karena personifikasi popularitas Gus Dur yang dapat diterima oleh banyak pihak sebagaimana dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, agar Gus Dur lebih efektif dalam memimpin negara,publik berharap selain agar para menterinya dapat bekerja sama dan mendengar aspirasi rakyat (48,7% responden), Gus Dur perlu memiliki tim politik yang profesional (21% responden) dan berasal dari kelompok ahli politik nonpartisan (54,1% responden). Aspirasi publik semacam ini menunjukkan bahwa objektivitas perjalanan Kabinet Persatuan Nasional perlu dijaga. Oleh karena itu, pulik juga berharap munculnya kekuatan oposisi yang mampu mengontrol pemerintah (19,6%).
Harapan publik di sektor ekonomi juga menunjukkan sikap rasional dalam mencermati keadaan yang sedang dialami Indonesia sebagai warisan yang tidak menyenangkan dari pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, mengatasi krisis ekonomi (46,7%) dengan cara tidak menaikkan harga barang secara umum, meningkatkan kepercayaan para penanam modal serta membuka lowongan pekerjaan baru menjadi prioritas yang dituntut publik dalam kebijakan pemerintah Gus Dur - Megawati.
Kepedihan ekonomi yang dirasakan publik menimbulkan tuntutan publik (30,4% responden) terhadap pemerintahan Gus Dur - Megawati agar mampu memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan cara membentuk lembaga independen pengawas korupsi (47,2%), mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya, serta pengumuman kekayaan Presiden, Wapres dan para menteri.
Tuntutan publik terhadap rasa keadilan sangatlah tinggi. Hal ini terekam dalam tuntutan publik agar para menteri dan/atau pejabat tinggi negara yang terbukti terlibat korupsi diganti dan dihukum (83,2% responden), tidak terkecuali kasus mantan Presiden Soeharto dan kroninya untuk diadili dan jika terbukti bersalah dihukum (60,3% responden). Negara federasi yang sempat menjadi wacana publik ternyata bukanlah pilihan mayoritas, Sentimen mayoritas masih menghendaki negara kesatuan dengan otonomi yang luas (52,3%).
Memang terlalu dini untuk memberikan penilaian terhadap pemerintahan yang baru berjalan kurang dari seratus hari. Oleh karena itu survai tahap pertama ini menjaring informasi yang berkaitan dengan masalah persepsi, kepercayaan dan harapan publik terhadap Pemerintahan Gus Dur- Megawati.
G. KETERPURUKAN PEMERINTAHAN GUS DUR
Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh
sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama,
sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi yang
telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya. Namun yang
dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang
mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene
partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti
TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya dengan teman-teman
dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin memanfaatkan jabatannya
untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga,
Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan
persetujuan semua komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis
kenegaraan yang tengah melanda, sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon
secara positif oleh seluruh komponen bangsa yang ada.
Munculnya ketiga faktor yang mendominasi
sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh
keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai
tradisional yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan
dihormati pendapat atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada
sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun
dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid atau
santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau
kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.
Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus
Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren selalu menyertainya.
Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping
sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan
keberadaan atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan
dari Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden
bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi diokelola
oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa seluruh
lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa
ada sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol
kinerja kepemimpinannya.
Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus
Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas,
orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan
manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam
kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci
utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan
efektif.
bagus banget
ReplyDeletejelas!
Oke, semoga membantu :)
ReplyDelete